Kader Siswa Katolik Dan Gereja

Pesimis, itulah yang muncul dalam benak stakeholder yang terlibat dalam pelatihan Kader Siswa Katolik (KSK) ini. Terutama kami para fasilitator. Bagaimana tidak, lambat laun banyak personel yang berguguran sebelum acara berlangsung.

Mulanya ada 21 anggota turut serta dalam pelatihan pada 22-24 Maret 2019, di Griya Samadhi Vinsensius (GSV), Prigen, Jawa Timur. Ini tentu menjadi berita menggembirakan. Dari total 40an personel hampir setengahnya akan berpartisipasi dalam pelatihan bertajuk Gerejaku Rumahku ini. Namun menjelang hari pelaksanaan ada perubahan lagi, ternyata jumlah keterlibatan menyusut jadi 16 orang.

Jika mau berpikir positif, ada dampak membahagiakan dari pengurangan peserta ini. Dengan total yang ada, pemberian materi harusnya menjadi lebih efektif.

Berdasarkan info dari pendamping siswa, ada beraneka sebab yang mengakibatkan kuantitas peserta menurun. Mulai dari ada acara dengan keluarga, kondisi kesehatan menurun, hingga terlibat dalam lomba paduan suara ke luar negeri. Hingga pada hari pelaksanan pelatihan tiba, ternyata yang ikut hanya 13 anak.

Begitu turun dari bis para kader langsung berbaris untuk mengikuti proses pengantar awal. Mulai pemantapan motivasi  yang bertujuan untuk membuat mereka benar-benar menyadari jati diri dan prinsip menjadi seorang kader. Karena sedari awal mereka terpilih bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani.

Berikutnya para kader mendapatkan panduan yang berkaitan dengan aktivitas tenda. Hal ini meliputi pembagian kelompk tenda, penataan tempat tidur, menaruh barang pribadi, dan ganti pakaian sesuai yang diinstruksikan oleh pelatih.

Selepas itu, mereka menghabiskan waktu hingga maghrib untuk dinamika kelompok. Tujuannya agar dalam suasana antar kader semakin cair. Karena ketiga belas anak ini datang dari sekolah yang berbeda. Empat anak SMAK St. Louis 1 sisanya dari SMAK St. Louis 2 Surabaya.

Pasca makan malam siswa mengawali sesi selanjutnya dengan ibadat pembuka. Baru setelah itu, sepanjang  60 menit mereka belajar mengenal tentang 4 ciri gereja yaitu Satu, Kudus, Katolik, dan Apostolik.

Usai mempelajari sifat-sifat gereja kader menutup hari ini dengan berdoa rosario sendiri-sendiri . Namun caranya berbeda dari biasanya. Mereka akan memulai rosario setelah mendapat pengantar dari pelatih. Lalu bergegas melakukannya dengan berjalan dalam posisi merangkak. Kondisi pencahayaan juga dipadamkan seluruhnya. Jarak yang harus mereka tempuh kurang lebih 500 meter dengan kontur jalan naik turun. Sembari berdoa,  dalam perjalanan mereka  wajib untuk mengingat kembali dan memantapkan komitmennya sebagai kader dalam hati masing-masing.

Setelah semua tiba di tujuan,  proses perutusan sebagai kader, pembasuhan kaki, pemberkatan salib, dan penerimaan salib menjadi penutup rangkaian proses malam itu.

Bisa dibayangkan bagaimana perjuangan para kader hingga sampai gua? Tentunya penuh cucuran keringat dan baret pada lutut yang bergesekan dengan jalan.

Ada salah satu kader yang mengaku ragu saat melakukannya. Hal ini terucap saat Ia diminta sharing pengalaman Rosarionya. Namun dengan bermodal kegigihan, komitmen, serta kemauan keras Ia mampu melampaui keraguanya.

Lalu keesokan harinya mereka mengawali acara dengan menyantap menu minimalis. Hanya ada teh manis hangat dan ubi jalar rebus menjadi kudapan pagi itu. Tak ada pengecualian, semua yang terlibat dalam pendampingan tersebut menunya sama. Walau sederhana, kalori dan karbohidrat yang terkandung dalam ubi jalar dapat bermanfaat bagi mereka yang menyantapnya.

Begitu usai makan pagi, kader siap untuk melahap materi berikutnya yakni tentang lima pilar gereja. Sebagai anggota gereja, KSK juga wajib untuk memahami dan menghidupi pilar-pilar ini. Dalam pengertian spiritual, keutuhan tubuh Gereja yang satu, kudus, katolik, dan apostolik memang perlu ditunjang dengan kelima pilar-pilar ini, yakni Liturgia (Liturgi-perayaan iman), Koinonia (Persekutuan), Diakonia (Pelayanan), Kerygma (Pewartaan, dan Martyria (Kesaksian Iman).

Dimulai dari terlibat dalam pilar Liturgia. Seperti memimpin ibadat, menjadi lektor, pemazmur, misdinar, organis, dan partisipasi aktif lain dalam setiap dinamika hidup menggereja.

Selanjutnya Koinonia atau persekutuan. Dalam bahasa Yunani berasal dari kata “koin” yang artinya mengambil bagian. Kader harus ikut ambil bagian di setiap persekutuan sebagai anak-anak Allah. PIlar yang ini dapat diwujudkan dengan menghayati hidup menggereja baik di lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat, maupun dalam kelompok-kelompok kategorial yang ada dalam Gereja.

Beralih ke pilar Diakonia yang berarti pelayanan. Praksis diakonia harus dijalankan semua umat Kristiani termasuk KSK. Seperti tertulis di awal di awal kalimat. Kader dipilih bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani. Hal ini selaras dengan core value KSK yaitu ’’Man For Others”, manusia untuk orang lain.

Pilar yang keempat Kerygma yangdalam arti lain ialah pewartaan. Tentu seorang kader dimanapun, kapanpun harus senantiasa mewartakan kabar gembira. Namun kerygma tak melulu pewartaan kepada sesama anggota gereja seperti memberi kesaksian-kesaksian rohani, pelajaran agama bagi yang akan menerima sakramen-sakramen gereja, dan lain sebagainya. Tetapi lebih dari itu. Menjadi kader juga harus mampu bergaul dengan orang –orang yang bukan anggota gereja. Hal ini dapat diwujudkan dengan membangun hidup bersama dengan mereka dan saling bersinergi untuk kepentingan umum.

Kesaksian atau Martyria sebagai pilar terakhirberarti ikut serta dalam menjadi saksi Kristus bagi dunia. Bagi kader ini dapat diwujudkan melalui kehidupan sehari-hari. Seperti menolong orang lain tanpa pamrih dan tanpa memandang SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan). Lalu berani tergerak begitu melihat sebuah ketidakadilan, mampu menjalin relasi baik dengan umat beragama lain.

Sehabis melahap penjelasan tentang lima pilar gereja, mereka diminta untuk melakukan diskusi. Masing-masing kader dibagi dalam 3 kelompok kecil. Lalu mereka disuruh membuat contoh konkret dari masing-masing pilar. Begitu selesai, tiap-tiap kelompok maju untuk mempresentasikan hasil urun rembuknya hingga waktu makan siang tiba.

Sebagai KSK seperti mereka, hidup menggereja bukan berarti sekedar datang ke gereja. Bukan pula sekedar merayakan ibadat dan doa. Namun lebih dari itu. Seorang KSK harus mampu menjadi garam dan terang bagi orang lain. Tak perlu banyak mengasini, tak perlu pula menerangi hingga benderang. Mereka hanya perlu menjaga kualitas garam dan terangnya agar dapat berfungsi dengan baik.

Tinggalkan Balasan