Bangunan itu perlu sentuhan tukang karena kondisi atap yang rentan bocor. Belum lagi warna cat yang sudah kusam dan kotor, sehingga membuat ruangan jadi kurang sedap dipandang. Bagian lantai bawah ruangan perlu pula ditambah keramik. Agar kelak tak lagi beraktivitas dalam kondisi lantai cor semen.
Itulah salah satu alasan mengapa proses kegiatan di Jl. Lebak Arum Barat No. 21, Surabaya, Jawa Timur berhenti sejenak. Hal ini bukan demi ego kami. Namun agar kelak yang memanfaatkan rumah itu untuk berbagai proses kegiatan sosial merasa enjoy.
Tepat bulan Maret 2019 kami Pusat Pengembangan Sosial (PPS) memulai kembali menyediakan diri untuk menemani anak-anak belajar. Hampir setahun kami menghilang dari kehidupan bocah-bocah yang tinggal di sekitar sana.
Jika dulu ada belasan anak yang berpatisipasi, kali ini harus mengumpulkan lagi mereka dari nol.
Mencari trik untuk merangkul kembali anak-anak jadi tantangan kami. Apalagi terdengar kabar dari pemilik warung samping rumah kalau anak-anak sekarang ikut bimbingan belajar di tempat lain. “Wah, bertambah lagi bobot tantangan kami!” Asumsiku saat itu.
Oke, kami tetap berusaha sebisa mungkin berjuang menghimpun kembali anak-anak.
Ibarat kata pepatah, pucuk dicinta ulam tiba. Dua anak perempuan dampingan kami yang dulu muncul. Mereka berseliweran di area warung sebelah rumah Lebak, begitulah kami menyebut nama hunian milik salah seorang penderma.
Kami seketika menyapa kedua bocah perempuan itu. Menanyakan kabar mereka menjadi tujuan utama kami kala itu. Mela (11) Manda (9) ternyata masih ingat kami. Hal ini terlihat saat mereka berdua membalas sapaan kami. Ini berarti pertanda baik.
Layaknya dua sejoli yang merindukan kebersamaan di masa lalu, salah seorang dari mereka bertanya. “Pak, kapan kita mulai belajar lagi?”, ujarnya. Salah seorang dari kami segera menimpali pertanyaannya. “Mulai hari Senin depan ya!” Rona bahagia pun terpancar dari wajah kedua anak tersebut setelah mendapat kepastian.
Hari Senin yang kami janjikan pun tiba. Pintu rumah kami buka mulai pukul 5 sore. Tujuannya agar anak-anak mengetahui kalau rumah belajar mereka sudah siap.
Sekitar 10 menit menanti, ternyata Kiki yang muncul dari balik pintu. Anak perempuan yang panjang rambutnya sebatas bahu ini hanya datang seorang diri. Saat itu ia baru pulang les untuk persiapan ujian nasional sekolah dasar (SD)
Begitu sudah berada di dalam rumah, ia tak langsung duduk manis mengambil meja lipat untuk mulai belajar. Ia memandang rupa rumah Lebak yang baru selesai direnovasi.
Setelah kami rasa ia puas menikmati perubahan rumah Lebak, baru kami mengajaknya kerja bakti. Tetapi bukan untuk bersih-bersih rumah melainkan memindahkan buku-buku bacaan dan alat tulis dari lantai 1 ke lemari pakaian yang kami alih fungsikan sebagai tempat penyimpanan buku. Posisi lemari kami tempatkan di lantai dasar. Praktis hari itu kegiatan hanya memindahkan buku dan alat tulis saja.
Pada perjumpaan berikutnya barulah kami mulai benar-benar berkegiatan dengan anak-anak di rumah Lebak. Kali ini yang hadir Mela, Kiki, dan Manda. Mereka pun sudah siap dengan amunisi belajarnya.
Singkat cerita. Sudah 2x perjumpaan berlalu, anak-anak yang hadir masih saja Mela, Manda, dan Kiki. Kami pun mulai diselimuti perasaan gelisah pada masa-masa itu.
“Ke mana perginya anak-anak yang lain?”, tanyaku pada mereka bertiga. Dua di antara mereka menanggapi pertanyaanku. Ada yang menjawab tidak tahu, ada pula yang bilang sedang les semua.
Mendengar jawaban dari mereka dalam diri kami timbul perasaan bersalah. Bersalah karena padatnya agenda di tempat kerja kami serta proses renovasi rumah yang memakan cukup waktu lama. Sehingga membuat relasi yang sudah terbangun antara kami dengan anak-anak memudar.
Untuk mencoba menebus rasa bersalah, kami berusaha untuk kembali menghidupkan denyut di rumah Lebak.
Setelah kegiatan kami dengan anak-anak usai, salah satu dari kami titip pesan pada Mela, Manda, dan Kiki. “Jangan lupa yang lainnya diajak dan dikabari!”
Sepertinya pesan kami tersampaikan ke anak-anak lain yang belum bisa hadir di rumah Lebak. Ini terlihat dari pertemuan berikutnya, di mana jumlah anak-anak yang datang mengalami peningkatan.
Satu per satu dari mereka muncul melalui balik pintu rumah Lebak. Saat itu yang tampak tak hanya Mela, Kiki, dan Manda. Tetapi juga ada Anisa, Sinta, dan Kirani. Walau tambahan anak dari segi jumlah minim, bagi kami ini tetap sebuah kemajuan.
Ternyata kemajuan terkait jumlah anak tak berhenti sampai di situ. Memasuki bulan-bulan berikutnya kehadiran Fauzi, Mesi, Angga, Kikin, Suci, Raja, Bobi, dan Kirana menambah keceriaan di rumah Lebak. Itu belum termasuk dengan keempat anak berusia 3-6 tahun seperti Ayu, Nisa, Febi, dan Lani.
Biasanya kami menghabiskan waktu sekitar 120 menit untuk sama-sama belajar. Entah untuk mengerjakan pekerjaan rumah dari sekolah, mempelajari bahan ujian sekolah, dan lain sebagainya.
Lalu pada setengah jam terakhir momen pendampingan, biasanya kami gunakan untuk bermain dan bernyanyi bersama anak-anak. Bagi kami wajib hukumnya untuk selalu berbagi kegembiraan pada anak-anak di rumah Lebak.
Dari fakta itu kami terus berusaha semaksimal mungkin untuk tetap menemani mereka setiap hari Senin dan Kamis.
Puncak dari upaya yang kami mulai lagi dari nol ini terjadi pada minggu ke-2 bulan puasa yang lalu. Di mana kami beserta belasan anak berkumpul untuk menikmati bulan suci Ramadhan di rumah Lebak.
Dalam momen itu, kami dan para bocah hanya menyantap es buah segar buatan salah satu koki di tempat kerja kami. Memang terdengar sederhana dan tak ada yang spesial dari momen tersebut. Namun menu tersebut muncul dari kesepakatan urun rembuk antara kami dan para bocah. Kami semua mufakat menjadikan es buah sebagai santapan untuk berbuka puasa.
Kalau di tarik mundur ke belakang, sebenarnya dari pertemuan awal di tahun 2018 kami sama sekali tak pernah memberikan apa pun pada para bocah di rumah Lebak. Baik dalam bentuk dana maupun materi. Kami hanya mencoba memberikan apa yang sebelumnya telah diberi oleh Sang Pencipta.
Kami diberi selera humor, kami beri canda tawa. Kami dianugerahi akal budi, ya kami dampingi mencari dan menemukan ilmu pengetahuan. Kami diberi kepercayaan diri, kami ajak mereka bermain dan bernyanyi. Kami dibekali hati nurani, kami persembahkan kepada mereka sebuah sapaan dan relasi yang memanusiakan.